Fatwa MUI Tentang Sholat 2 bahasa

Sumber : http://www.halalguide.info/content/view/128/55/

Fatwa MUI

KEPUTUSAN FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 2005
Tentang
SHALAT DISERTAI TERJEMAH BACAANNYA

Majelis Ulama Indonesia, setelah :

Menimbang :

  1. Bahwa akhir-akhir ini telah terjadi pelaksanaan shalat dengan membaca ayat dan terjemahnya, baik oleh imam maupun makmum ;
  2. Bahwa hal tersebut telah menimbulkan berbagai pertanyaan dan keresahan di kalangan umat Islam;
  3. Bahwa oleh karena itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memandang perlu menetapkan fatwa tentang hukum tersebut untuk dijadikan pedoman.


Mengingat :

  1. Firman Allah SWT; antara lain ;

    …Apa yang telah diberikan (diajarkan) oleh Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Seusungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (QS. al-Hasyr [59]: 7).

    Peliharalah segala shalat (mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu)dengan khusyu’. (QS.al-Baqarah [2]: 238)

    Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, (QS.al-Nahl [16]: 43)

    Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.(QS.Yusuf [12]: 2).

    Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. al-Nisa’ [4]: 59).

  2. Hadits-hadits Nabi, antara lain :

    Malik bercerita kepada kami : Kami datang kepada Nabi dan kami adalah para pemuda yang sebaya; selama dua puluh hari. Rasullullah adalah orang yang sangat pengasih dan santun. Ketika menduga bahwa kami telah rindu kepada keluarga, beliau bertanya tentang orang-orang yang kami tinggalkan; kamipun menceritakan kepada beliau. lalu bersabda,”(Pulanglah kepada keluarga kalian dan tinggallah bersama mereka; ajarkan kepada mereka dan perintahkanlah –beliau menyebutkan beberapa hal yang saya hafal ataupun yang tidak saya hafal—dan kerjakanlah sholat sebagaimana kalian melihatku melakukannnya; apabila telah tiba saat untuk shalat hendaklah salah satu dari kalian mengumandangkan adzan dan orang yang paling tua hendaklah menjadi Imam,’(HR.al-Bukhari)

    “Dari zaid bin Arqam, ia berkata : Kami pernah berbicara saat sholat salah seorang dari kami berbicara kepada temannya tentang keperluannya, hingga turun ayat, “Peliharalah segala Sholat (mu), dan (peliharalah) shalat Wusthaa. Berdirilah karena Allah (dalam Shalatmu) dengan Khusyu. “(QS. al-Baqarah (2):238). Maka, kami perintah agar diam (HR Al-Bukhari).

    “Dari zaid bin Arqam, ia berkata : Kami pernah berbicara saat shalat salah seorang dari kami berbicara kepada temannya yang berada disampingnya saat shalat, hingga turun ayat, “Peliharalah segala Shalat (mu), dan (peliharalah) shalat Wusthaa. Berdirilah karena Allah (dalam Shalatmu) dengan Khusyu. “(QS. al-Baqarah (2):238). Maka, kami perintah agar diam dan dilarang berbicara. (HR Al-Bukhari).

    Dari Mu’awiyah bin al-Hakkam Al-Sulami, ia berkata, Rasulullah bersabda: “Tidak layak dalam shalat ini sedikitpun (untuk mengucapkan) perkataan manusia; kata-kata dalam shalat hanyalah berupa tasbih, takbir, dan membaca al-Qur’an….” (HR. Muslim).

    Dari A’isyah, ia berkata, Rasulullah bersabda, “ Barang siapa mengada-adakan dalam agama kita ini sesuatu yang bukan dari agama, maka ia ditolak. “ ( HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu dawud, dan Ibnu Majah ).

    Dari A’isyah, ia berkata, Rasulullah bersabda, “Barang siapa melakukan suatu amalan (perbuatan) yang tidak berdasarkan perintah kami, maka amalan itu ditolak.”(HR. Ahmad).

  3. Kaidah fiqh. Sebagai suatau ibadah, bentuk maupun tatacara pelaksanaan salat harus mengikuti segala ketentuan yang telah ditetapkan oleh hukum Islam (Syari’ah) serta dipraktikkan oleh Rasulullah. Kaidah Fiqh menegaskan :

    “Suatu Ibadah tidak disyari’atkan kecuali disyari’atkan oleh Allah.”

    “Hukum asal dalam masalah ibadah adalah tauqif (mengikuti ketentuan dan tata cara yang telah ditetapkan oleh Syari’ah). Karena Itu, tidak dibenarkan beribadah kepada Allah kecuali dengan peribadatan yang telah disyari’atkan oleh Allah dalam Kitab-Nya dan melalui penjelasan Rasul-Nya Muhammad saw. Hal itu karena ibadah adalah hak murni Allah yang Ia tuntut dari para hamba-Nya berdasarkan sifat rububiyah-Nya terhadap mereka. Tata cara, sifat dan ber-taqarrub (melakukan pendekatan diri kepada Allah) dengan ibadah hanya boleh dilakukan dengan cara yang telah disyari’atkan dan diizinkan-Nya. Ia berfirman: Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu (selain Allah), yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah….? (QS Asu-Syura (42):21)

    “Ibadat itu didasarkan pada tauqif dan ittiba’ (mengikuti petunjuk dan contoh dari Nabi), bukan pada hawa nafsu dan ibtida’ (ciptaan sendiri). Ditegaskan dalam dua kitab hadits sahih (Sahih Bukhari dan Sahih Muslim) dari A’isyah dari Nabi saw, ia bersabda, Barang siapa mengada-adakan dalam agama kita ini sesuatu yang bukan dari agama, maka ia ditolak.”

Memperhatikan :

  1. Aqwal Ulama
  2. Keputusan fatwa MUI Propinsi Jawa Timur No. Kep.13/SKF/MUI/JTM/II2005
  3. Rapat Komisi Fatwa bersama Dewan Pimpinan MUI pada Sabtu, 28 Rabi’ul Awwal 1426 H/07 Mei 2005


Dengan memohon taufiq dan ridho Allah SWT

MEMUTUSKAN

Menetapkan :
FATWA TENTANG SHALAT DISERTAI TERJEMAH BACAANNYA

  1. Shalat adalah suatu ibadah murni (‘ibadah Mahdhah); oleh karena itu, pelaksanaannya wajib mengikuti petunjuk Allah s.w.t yang telah disampaikan dan dicontohkannya oleh Rasulullah s.a.w; baik dalam bacaannya maupun gerakannya(aqwal wa af’al)
  2. Shalat yang disertai terjemah bacaanya adalah tidak sah karena tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw.
  3. Shalat yang dilakukan oleh pengasuh Pondok I’tikaf Jamaah Ngaji Lelaku Yayasan Taqwallah tergolong bid’ah dhalalah, yaitu bid’ah yang sesat serta bertolak; dan shalat yang dilakukannya adalah tidak sah. Agar setiap muslim yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.


Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 28 Rabi’ul Awwal 1426 H
07 Mei 2005 M




MAJELIS ULAMA INDONESIA

Ketua,

K.H. Ma’ruf Amin

Sekretaris,

Drs.Hasanudin, M.Ag

0 komentar: