GERAKAN AHMADIYAH INDONESIA

Allah SWT bersabda:

Allah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan berbuat baik, bahwa Ia pasti akan membuat mereka penguasa (khalifah) di bumi sebagaimana Ia telah membuat orang-orang sebelum mereka menjadi penguasa (khalifah), dan bahwa Ia akan menegakkan bagi mereka agama mereka yang telah Ia pilih, dan bahwa Ia akan memberi keamanan sebagai pengganti setelah mereka menderita ketakutan. Mereka akan mengabdi kepada-Ku, dan tak akan menyekutukan Aku dengan apapun. Dan barang siapa sesudah itu tidak bersyukur, mereka adalah orang-orang durhaka

(QS 24:55)

Nabi Suci Muhammad saw bersabda:

”Sesungguhnya Allah akan membangkitkan untuk umat ini pada permulaan tiap-tiap abad orang yang akan memperbaharui baginya agamanya”

(HR Abi Daud)

Ahmadiyah: Gerakan Pembaharuan Islam

Menurut ayat suci di atas Allah berjanji akan menjadikan umat Islam sebagai penguasa (khalifah) dimuka bumi, yang pemenuhan janji itu pasca Nabi Suci dibangkitkannya Khalifah ruhani atau Mujaddid pada permulaan tiap-tiap abad Mujaddid adalah orang yang memperbaharui agama Islam. Pembaharuan (tajdid) adalah dinamisasi (iman) purifikasi (akidah dan ibadah) dan reinterpretasi Quran Suci sesuai dengan tuntutan zaman. Berkat tajdid Islam selaras dengan fitrah manusia sebagaimana diajarkan oleh Quran Suci dan Sunnah Nabi. Pembaharuan para mujaddid itulah yang disebut Gerakan Pembaharuan Dalam Islam. Pada akhir zaman ini Gerakan itu bernama Ahmadiyah. Jadi Ahmadiyah adalah Gerakan Pembaharuan Dalam Islam.

Ahmadiyah didirikan oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad Alqadiani, Mujaddid abad ke-14 Hijriyah yang bergelar Almasih dan Mahdi, berdasarkan ilham dari Allah SWT. Yang beliau terima pada tanggal 1 Desember 1888 sekarang Ahmadiyah telah tersebar di seluruh dunia.

Ahmadiyah berjuang hanya untuk membela dan menyiarkan Islam diakhir zaman ini melalui lima cabang kegiatan dakwah Islam yang telah digariskan oleh Mujaddid dalam kitab Fathi Islam (1893), yaitu: (1) Menyusun karangan-karangan atau buku-buku dan menerbitkannya. (2) Menyiarkan brosur-brosur dan maklumat-maklumat yang dilanjutkan dengan pembahasan dan diskusi, (3) Komunikasi langsung dengan kunjung-mengunjung, mengadakan ceramah-ceramah dan majelis taklim, (4) Korespondensi dengan mereka yang mencari atau menolak kebenaran Islam, dan (5) Beat.

Dua Golongan Ahmadiyah

Setelah pendiri Gerakan Ahmadiyah wafat (26 Mei 1908), Gerakan Ahmadiyah dipimpin oleh Shadr Anjuman Ahmadiyah yang diketuai oleh Maulvi Hakim Nuruddin. Setelah beliau wafat pada tanggal 13 Maret 1914, Shadr Anjuman Ahmadiyah dipimpin oleh Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, putera pendiri Gerakan Ahmadiyah. Beberapa saat setelah ia terpilih, timbullah perbedaan pendapat yang penting dan mendasar. Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad berpendapat bahwa : (1) Masih Mau’ud itu betul-betul Nabi, (2) beliau itu ialah Ahmad yang diramalkan dalam Qur’an Suci 61:6, dan (3) semua orang Islam yang tidak berbeat kepadanya, sekalipun tidak mendengar nama beliau, hukumnya tetap kafir dan keluar dari Islam (Ainai Sadaqat, hal. 35). Jadi menurut Basyruddin Mahmud Ahmad, Nabi Suci Muhammad saw. bukanlah Nabi terakhir, padahal H.M. Ghulam Ahmad mengajarkan bahwa Nabi Suci Muhammad saw adalah Nabi terakhir, sesudah beliau tak ada Nabi lagi, baik Nabi lama ataupun Nabi baru (Ayyamus-Shulh, hlm.74).

Pendapat Basyuruddin Mahmud Ahmad yang bertentangan dengan ajaran Imam Zaman tersebut yang menyebabkan terjadinya perpecahan dalam Ahmadiyah. Mereka yang setuju terhadap pendapat yang menyimpang dari ajaran Pendiri Ahmadiyah tersebut tergabung dalam Jemaat Ahmadiyah, yang dikenal sebagai Ahmadiyah Qadian, karena pusatnya di Qadian, India, tetapi setelah Pakistan dan India merdeka pindah ke Rabwah, Pakistan yang kemudian pasca 1984 Khalifahnya berada di Inggris. Pemimpin jemaat Ahmadiyah disebut Khalifah. Lengkapnya Khalifatul-Masih.

Sedangkan mereka yang tak setuju terhadap pendapat tersebut alias yang mempertahankan akidah Pendiri Ahmadiyah, tergabung dalam Ahmadiyah Anjuman Isya’ati Islam yang berpusat di Lahore dan dikenal sebagai Ahmadiyah Lahore yang pada saat itu dipimpin oleh Maulana Muhammad Ali, M.A., LL.B., sekretaris Almarhum Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Pemimpinnya disebut Amir (Presiden). Menurut Ahmadiyah Lahore, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad bukanlah Nabi, dia adalah seorang Mujaddid. Ahmad, dalam Alquran 61:6 adalah Nabi Suci Muhammad saw. dan kaum Muslimin yang tidak beat kepada beliau tidaklah kafir.


Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI)

Faham Ahmadiyah Anjuman Isya’ati Islam atau Ahmadiyah Lahore masuk ke Indonesia pada tahun 1924 dengan perantaraan dua mubaligh, Mirza Wali Ahmad Baig dalam Maulana Ahmad. Berkat rahmat Allah, pada tanggal 10 Desember 1928 Gerakan Ahmadiyah Indonesia (sentrum Lahore) didirikan oleh Bapak R.Ng.H. Minhajurrahman Djajasugita dkk, yang mendapat Badan Hukum Nomor I x tanggal 30 April 1930.

GAI adalah Gerakan yang mandiri tak ada hubungan organisatoris dengan organisasi manapun di dunia ini, termasuk dengan Ahmadiyah Anjuman Isya’ati Islam (Ahmadiyah Gerakan Penyiaran Islam) Lahore. Hubungannya hanyalah secara spiritual saja.

Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang organisasi kemasyarakatan, yang mewajibkan organisasi kemasyarakatan berasaskan Pancasila, maka GAI juga berasaskan Pancasila. Anggaran Dasar GAI telah diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Tanggal 28 November 1986 Nomor 95 Lampiran Nomor 35. Dan pula telah termasuk dalam Daftar Organisasi Kemasyarakatan Lingkup Nasional yang terdaftar di Depdagri (lihat: SUARA KARYA Tanggal 9 Agustus 1994), Hal. VIII, pada : D. AGAMA, 10).

Dalam melaksanakan aktivitas dakwahnya, GAI telah menerbitkan seratusan judul buku-buku agama dalam bahasa Belanda, Jawa dan Indonesia serta lembaga pendidikan formal bernama Yayasan Perguruan Islam Republik Indonesia (PIRI) di Yogyakarta dan di berbagai daerah, yang menyelenggarakan pendidikan (sekolah) mulai tingkat Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi.

Akidah Ahmadiyah Indonesia (GAI)

Sebagai Gerakan Pembaharuan Dalam Islam, Ahmadiyah (Lahore) tidak menyimpang dari Quran Suci dan Sunnah Nabi, baik dibidang akidah maupun syariah. Secara rinci Akidah Ahmadiyah telah dirumuskan oleh Maulana Muhammad Ali, M.A., LL.B., dalam bukunya Albayanu fir-ruju’ilal-qur’an (1930:33-35) sebagai berikut:

  1. Kita percaya dengan yakin akan Keesaan Allah dan Kenabian Nabi Suci Muhammad saw.

  2. Kita percaya dengan yakin bahwa Nabi Muhammad saw. adalah Nabi terakhir dan yang terbesar diantara sekalian Nabi. Dengan datangnya beliau, agama telah disempurnakan oleh Allah. Oleh sebab itu sepeninggal beliau tak akan ada Nabi lagi yang diutus, akan tetapi pada tiap-tiap permulaan abad akan diutus Mujaddid (Pembaharu), untuk melayani dan menegakkan Islam.

  3. Kita percaya dengan yakin bahwa Quran Suci adalah firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Suci Muhammad saw. Tak ada satu pun ayat yang harus dihapus (mansukh) dan ayat-ayatnya tetap murni untuk selama-lamanya. Sampai hari Qiyamat Quran menjadi pedoman petunjuk bagi kaum Muslimin.

  4. Kita mengakui bahwa Hazrat Mirza Ghulam Ahmad adalah Mujaddid abad 14 Hijriyah. Beliau bukan Nabi dan tak pernah mengaku Nabi.

  5. Kita percaya bahwa Allah kerap kali mewahyukan sabda-Nya kepada orang-orang suci yang dipilih oleh Allah di antara kaum Muslimin, meskipun mereka bukan Nabi. Orang-orang semacam ini disebut Mujaddid atau Muhaddats, artinya orang yang diberi sabda Allah. Anugerah semacam itu acapkali disebut Zillun-Nubuwah, artinya bayang-bayang kenabian. Sebagaimana kata Zilullah, demikian pula kata Zillun-Nabi atau bayang-bayang Nabi, ini bukan berarti Nabi yang sungguh-sungguh.

  6. Barang siapa mengucapkan kalimah syahdat, Asyhadu alla ilaha illallah, wa-asyhadu anna Muhammadarrasulullah, dan percaya akan arti dan maksudnya, maka ia adalah orang Islam, bukan orang kafir.

  7. Kita menghormati dan memuliakan para sahabat, para Wali dan para Ulama besar Islam. Kita tak membeda-bedakan penghormatan kita terhadap para sahabat, para Wali, para Muhaddats dan para Mujaddid.

  8. Bagi kita, menyebut kafir kepada orang Islam adalah perbuatan yang amat keji. Oleh sebab itu, tak akan bersalat makmum di belakang siapa saja yang menyebut kafir kepada orang Islam; hal ini untuk menunjukkan betapa tak suka kita terhadap perbuatan semacam itu; sikap demikian kita lakukan terhadap siapa saja, baik itu orang Ahmadi atau pun bukan. Sebaliknya, kita mau bersalat makmum di belakang siapa saja yang tak mengafirkan Islam.

  9. Kita mengakui akan benarnya Hadis Nuzulul-Masih atau turunnya al-Masih. Akan tetapi oleh Quran Suci sendiri dengan kata-kata yang terang telah berfirman bahwa Nabi Isa a.s. telah wafat, maka kita percaya bahwa Masih yang akan turun pada akhir zaman bukanlah Nabi Isa bangsa Israel, melainkan seorang Mujaddid yang sifat-sifatnya ada persamaannya dengan Nabi Isa a.s.

  10. Kita percaya bahwa tak ada paksaan untuk memeluk agama Islam, dan kita percaya pula bahwa tak ada Imam Mahdi yang datang menyiarkan Islam dengan pedang. Adapun Imam Mahdi yang sesungguhnya ialah seorang Mujaddid dan dianugerahi petunjuk dan sabda Allah untuk menegakkan, menjaga dan menghayati agama Islam yang sejati.

Penegak Akidah Khatamun-Nabiyyin

Dengan demikian jelaslah bahwa Ahmadiyah Lahore adalah penjaga akidah yang ditegakkan oleh H.M. Ghulam Ahmad, bahwa Nabi Suci Muhammad saw. Sebagai Khatamun Nabiyyin dalam arti segel (penutup) para Nabi, sesudah beliau tak ada Nabi lagi, baik Nabi lama ataupun Nabi baru. Akidah yang menjadi landasan persatuan kesatuan umat manusia setelah Keesaan Ilahi ini yang dipegang teguh oleh kaum Ahmadi (Lahore). Sejarah menjadi saksi, tatkala akidah yang dirumuskan oleh H.M. Ghulam Ahmad itu mulai tergoyang dan miring pada tahun 1914, ditegakkan kembali oleh Maulana Muhammad Ali M.A. LL.B. dengan berdirinya Ahmadiyah Anjuman Isha’ati Islam, Lahore.

Sumber:

S. Ali Yasir, Brosur Pembaharuan Islam, Darul Kutubil Islamiyah, Jakarta: 2009

0 komentar: