SKB TENTANG AHMADIYAH
Bismillah ar-Rahman ar-Rahim
Kemarin, usai acara d iskusi “Konstruksi Kepemimpinan Menuju Kebangkitan Nasional” yang diselenggarakan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) di Jakarta Media Center, saya ditanya oleh sejumlah wartawan mengenai Ahmadiyah, sehubungan dengan rencana diterbitkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung, yang kini tengah menjadi berita hangat media massa di tanah air. Waktu itu saya menjawab, yang harus diterbitkan bukanlah sebuah SKB karena istilah itu sudah tidak dikenal lagi dengan diundangkannya UU Nomor 10 Tahun 2004. Istilah yang benar ialah Peraturan Menteri. Apakah Peraturan itu dikeluarkan sendiri-sendiri oleh menteri atau pejabat setingkat menteri, atau secara bersama-sama, semuanya tergantung kepada kebutuhan materi yang ingin diatur. Istilah Keputusan, dengan berlakunya UU Nomor 10 Tahun 2004, hanya digunakan untuk sebuah penetapan, seperti pengangkatan dan pemberhentian seseorang dalam jabatan, bukan sesuatu yang berisi norma yang bersifat mengatur.
Beberapa jam setelah saya menjawab pertanyaan wartawan di atas, beredar berita melalui SMS bahwa saya sama saja dengan Adnan Buyung Nasution yang menentang SKB tentang Ahmadiyah. Hal inilah yang mendorong saya untuk menulis artikel ini, melengkapi apa yang sudah diberitakan oleh beberapa media, antara lain Detik.Com kemarin, Republika, Indopos dan The Jakarta Post hari ini. Saya menegaskan bahwa saya bukannya tidak setuju dengan SKB itu, tetapi bentuk peraturan hukum yang diterbitkan ialah Peraturan Bersama, bukan Surat Keputusan Bersama. Memang istilah Keputusan Bersama dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965, tetapi setelah berlakunya UU Nomor 10 Tahun 2004, maka istilah Peraturan Bersama lebih sesuai untuk digunakan. Dengan penjelasan ini, mudah-mudahan segala kesalahpahaman akibat pemberitaan sepotong-sepotong, dapat dijernihkan.
Pendapat saya tentang Ahmadiyah sebenarnya tegas saja. Bagi saya, seseorang masih dapat dikatakan seorang Muslim, apabila dia berpegang teguh dan berkeyakinan sejalan dengan prinsip akidah Islam, yakni La Ilaha illallah Muhammadur Rasulullah. Tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah. Tentang Muhammadur Rasulullah itu tegas pula dianut prinsip, bahwa sesudah beliau tidak ada lagi rasul dan nabi yang lain. Kalau mengakui bahwa Mirza Ghulam Ahmad (lihat gambar) adalah nabi sesudah Nabi Muhammad s.a.w, saya berpendirian bahwa keyakinan tersebut sudah menyimpang dari pokok akidah Islam. Karena itu, lebih baik jika penganut Ahmadiyah itu menyatakan diri atau dinyatakan sebagai non-Muslim saja. Dengan demikian, hak-hak konstitusional mereka di negara Republik Indonesia ini tetap sah dan diakui. Saya memberikan contoh di Pakistan, para penganut Ahmadiyah –lebih khusus disebutkan kelompok Ahmadiyah Qadian atau Qadiani — yang tegas-tegas digolongkan sebagai minoritas bukan Muslim atau “Non Muslim minority”. Sebab itu Konstitusi Pakistan menetapkan bahwa mereka mempunyai wakil di Majelis Nasional Pakistan yang diangkat untuk mewakili golongan minoritas.
Dalam agama Islam memang diakui keberadaan mazhab-mazhab, yakni berbagai aliran penafsiran baik di bidang Ilmu Kalam, Fiqih dan Tasawwuf. Namun perbedaan penafsiran itu tidaklah sampai mempertentangkan pokok-pokok ajaran Islam, melainkan detil-detilnya. Dalam Kalam misalnya, tafsiran kaum Muktazilah dengan kaum Asy’ariyyah tentang al-Qada wal-Qadar, walau berbeda namun tetap dalam batas-batas yang sejalan dengan pokok-pokok akidah. Demikian pula halnya mazhab-mazhab fiqih, adalah perbedaan dalam menafsirkan kaidah-kaidah hukum sebagaimana termaktub di dalam al-Qur’an dan al-Hadits yang tidak menyimpang dari asas-asas syariah. Dalam Tasawwuf, para aliran sufi saling berbeda persepsi mengenai cara-cara berdzikir dalam mendekatkan diri kepada Allah. Namun dalam hal akidah yang pokok, tak ada perbedaan yang prinsipil di antara aliran-aliran tasawwuf. Adapun meyakini bahwa masih ada seorang nabi setelah Nabi Muhammad s.a.w, jelaslah menyalahi prinsip akidah Islam. Sebab itulah, Rabithah al-Alam al-Islami dan Organisasi Konfrensi Islam (OKI) telah lama mengeluarkan pernyataan bahwa Ahmadiyah (Qadian) adalah golongan yang telah keluar dari Islam. Pemerintah Arab Saudi juga melarang penganut Ahmadiyah (Qadian) menunaikan ibadah haji. Majelis Ulama Indonesia pada tahun 1984 juga telah menerbitkan fatwa bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat yang telah keluar dari Islam.
Keberadaan Ahmadiyah di Indonesia sebenarnya telah dimulai sejak zaman kolonial Hindia Belanda. Sebagai sebuah perkumpulan, Ahmadiyah Indonesia telah pula mendapat status badan hukum yang disahkan Kementerian Kehakiman pada tahun 1950-an. Namun aktivitas gerakan ini sampai sekarang meresahkan bagian terbesar Umat Islam di Indonesia. Tempat ibadah mereka disebut “mesjid” juga. Sementara di samping al-Qur’an, mereka juga menggunakan Kitab Tadzkirah sebagai pegangan dalam keyakinan mereka, khususnya tentang kenabian Mirza Ghulam Ahmad serta ajaran-ajarannya. Sebab itu tidak mengherankan jika berbagai ormas Islam mendesak Pemerintah untuk melarang gerakan Ahmadiyah ini sejak lama. Dalam beberapa bulan terakhir ini isyu Ahmadiyah kembali mencuat dan tindak kekerasan terjadi di berbagai tempat. Dalam konteks inilah, wacana keluarnya “SKB” muncul ke permukaan.
Apakah dasar hukum yang diinginkan agar Pemerintah melarang keberadaan Gerakan Ahmadiyah itu? SKB yang menjadi bahan pembicaraan itu bersumber pada Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 yang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 ditetapkan menjadi undang-undang. Dalam undang-undang ini disebutkan “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu (Pasal 1). Selanjutnya dalam Pasal 2 disebutkan bahwa bagi mereka yang melakukan kegiatan seperti itu, diberi “perintah dan peringatan keras” untuk menghentikan kegiatannya. Perintah itu dikeluarkan oleh Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri dalam bentuk “Keputusan Bersama”. Apabila kegiatan itu dilakukan oleh sebuah organisasi maka “Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi/aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri”. Apabila orang/organisasi tersebut telah diberi peringatan atau dibubarkan dan dilarang oleh Presiden, namun tetap membandel, maka kepada mereka dapat dituntut pidana dengan ancaman hukuman penjara selama-lamanya lima tahun. Dengan UU Nomor 1/PNPS/1965 ini pula, ketentuan Pasal 156 KUHP ditambah dengan Pasal 156a yang antara lain berbunyi “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap sesuatu agama yang dianut di Indonesia”.
Nah, kalau membaca dengan cermat isi UU Nomor 1/PNPS/1965 di atas, maka keliru kalau ada yang meminta Pemerintah — dalam hal ini Menteri Agama, mendagri dan Jaksa Agung — untuk menerbitkan “SKB “untuk melarang Ahmadiyah. “SKB” hanya dapat memberikan perintah dan peringatan keras kepada orang perorangan yang melanggar ketentuan Pasal 1 UU tersebut. Kalau Ahmadiyah sebagai sebuah gerakan/perkumpulan/organisasi, maka yang dapat membubarkan dan melarangnya bukan Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung, tetapi Presiden Republik Indonesia. Jadi permintaan harus disampaikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bukan kepada Muhammad Maftuch Basyuni, Mardiyanto dan Hendarman Supanji.
Ada kalangan yang berpendapat bahwa UU Nomor 1/PNPS/1965 itu sudah ketinggalan zaman, tidak sejalan dengan hak asasi manusia, demokrasi dan bertentangan dengan UUD 1945 hasil amandemen. Sebagai tafsiran dan pendapat boleh-boleh saja. Pendapat yang sebaliknya juga ada, namanya saja tafsir dan pemahaman. Namun hingga kini keberadaan undang-undang tersebut sebagai kaidah hukum postif secara formal masih berlaku, sebab belum pernah diubah atau dicabut oleh Presiden dan DPR. Mahkamah Konstitusi sampai kini juga belum pernah membatalkan undang-undang itu dan menganggapnya bertentangan dengan UUD 1945 dalam permohonan uji materil. Jadi Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 itu sah sebagai undang-undang yang berlaku. Bahwa sampai sekarang dua menteri dan Jaksa Agung belum juga menerbitkan “SKB” dan Presiden belum juga mengeluarkan Peraturan Presiden membubarkan dan sekaligus melarang organisasi/perkumpulan Ahmadiyah, semuanya itu tergantung kepada kemauan dan keberanian politik mereka itu. Walaupun konon, anggota Wantimpres Adnan Buyung Nasution menentang, namun nasehat anggota Wantimpres, bahkan Wantimpres sebagai sebuah lembaga, tidaklah mengikat Presiden. Jangankan hanya Adnan Buyung Nasution, nasehat seluruh anggota Wantimpres dapat diabaikan Presiden, kalau Presiden berpendapat lain. Saya dengar rapat mengenai Ahmadiyah ini telah beberapa kali dilakukan oleh beberapa menteri yang dipimpin Presiden dan juga dihadiri anggota Wantimpres. Namun hingga kini, kita belum tahu keputusan apa yang akan diambil, baik oleh Manteri Agama, Mendagri dan Jaksa Agung, maupun oleh Presiden sendiri. Reaksi atau komentar Presiden atas soal Ahmadiyah ini belum terdengar. Ini beda dengan reaksi beliau yang cukup cepat terhadap isyu poligami yang dilakukan Aa Gim, walau hal itu lebih bersifat personal Aa Gim. Perbedaan tafsir mengenai poligami masuk ke dalam bidang fikih Islam. Masalahnya tidak menyangkut akidah, dibanding dengan isyu Ahmadiyah yang kini menyita banyak perhatian umat Islam, politisi dan aktivis hak asasi manusia di tanah air, bahkan gemanya jauh ke mancanegara.
Wallahu’alam bissawwab
Cetak artikel Oleh Yusril Ihza Mahendra — May 9th, 2008
SKB TENTANG AHMADIYAH
Diposting oleh Aliran Jumat, 05 Februari 2010 di 19.26
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar