Jamaah An-Nadzir di Gowa, Sulsel

Menunggu Fatwa Sesat

Sholat Ied Hari Kamis

Kamis, 11 Oktober 2007 9:17:00
Gowa, Sulsel-RoL-- Sekitar 300 jamaah An-Nadzir melaksanakan sholat Idul Fitri 1428 Hijriyah di lapangan tepi Danau Mawang, Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, Kamis sekitar pukul 07.00 Wita.

Usai sholat shubuh, mereka bergegas menuju lapangan tepi Danau Mawang yang tidak terlalu jauh dari perkampungan (muslim) mereka yang hanya berjarak sekitar 100 meter.

Jamaah ini, berbeda dengan jemaah lainnya karena mereka mengenakan jubah dan sorban berwarna hitam yang dipadukan dengan ikatan kepala berwarna putih. Rambut mereka ada yang dicat berwarna pirang dan agak kekuning-kuningan.

Ajaran An-Nadzir ini masuk ke Kabupaten Gowa melalui Syech Muhammad Al Mahdi Abdullah, imam kaum An-Nadzir pada tahun 1998.

Usai sholat Ied, penanggung jawab jamaah An-Nadzir yang juga bertindak sebagai imam sholat sekaligus khotib, ustadz Lukman, mengatakan Pihaknya menjalankan sholat Ied ini dengan mengambil rujukan gejala alam yang terjadi seperti air laut pasang penuh.

"Ketika laut pasang, itu berarti bulan dan matahari berada pada posisi sejajar," jelasnya dan menambahkan bahwa gejala alam ini, didukung dengan tanda-tanda alam lainnya seperti bulan tsabit yang sudah tidak nampak sejak Rabu (10/10) sekitar pukul 2.00 dini hari.

"Jadi sebenarnya, hari Rabu itu telah memasuki bulan Syawal," ujarnya. Sejak Selasa lanjut kolega Aziz Qahhar Muzakkar ini, pihaknya semakin intensIF melakukan pemantauan bayangan bulan tsabit ini terlihat tinggal satu bayangan.

Menurut Lukman, metode ini, dilakukan Rasulullah SAW termasuk penampilan Nabi yang mengecat rambutnya dengan warna agak kemerah-merahan dan memanjangkan rambutnya hingga sebatas bahu.

"Kami konsisten menjalankan ajaran Al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW," ujarnya. Dalam khutbahnya, ustadz Lukman mengatakan bahwa Islam tidak mempunyai kekuatan dan daya tapi dia bisa memiliki itu bila bersatu padu.

Dia juga menambahkan, Islam bukan sekedar agama, tetapi suatu tatanan hidup bagi kaum yang ingin hidup dengan selamat.

Dalam pelaksanaan sholat Ied itu, nampak pula beberapa penduduk sekitar, juga turut melaksanakan sholat berjamaah dengan komunitas An-Nadzir.

Jamaah kelompok ini mudah dikenali dari penampilannya seperti berambut pirang dengan panjang rambut sebatas bahu, menggunakan sorban, mengenakan jubah hitam,sedangkan penduduk sekitar hanya mengenakan baju koko dan jubah berwarna putih.

Demikian pula jemaah wanita An-Nadzir, sebagian diantara mereka, ada yang mengenakan cadar dan jubah sedangkan yang lainnya, terlihat hanya mengenakan mukenah seperti yang dipakai orang-orang muslim pada umumnya. antara/abi/RioL
Salat Ied Jamaah An Nadzir
Sekitar 800 jamaah An Nadzir menggelar salat Idul Fitri (Salat Ied) di Kelurahan Buttadidia, Gowa, Sulsel, Kamis (11/10). Keseluruhan jamaah mengenakan jubah berwarna hitam. (Fotografer: Pool/Detik.com)
Dengan mengenakan jubah warna hitam, para jamaah An Nadzir tampak khusyuk mengikuti salat. (Foto : M. Nur Abdurrahman)
Dalam melaksanakan salat Idul Fitri, mereka mengaku mempunyai dasar dalam menentukan waktu salat Ied ini. Mereka mendasarkan perhitungannya pada bulan yang terbit (Syawal) juga ditunjang faktor alam lainnya seperti hujan dan guntur. (Foto : M. Nur Abdurrahman)
Dalam sholat Ied ini, anak-anak berumur 10 tahun ke bawah yang juga mengenakan jubah dan sorban terlihat dipisah dalam satu barisan tersendiri. (Foto : M. Nur Abdurrahman)
Jamaah An Nadzir juga memiliki penampilan fisik yang berbeda dengan banyak umat muslim lainnya. Mereka mengecat ramburtnya dengan warna pirang, merah dan keemasan serta berpeci lancip. (Foto : M. Nur Abdurrahman)
Para kaum wanita jamaah An Nadzir mengenakan jubah hitam dengan cadar menutupi wajah. Sekitar 90 kepala keluarga anggota jamaah An Nadzir mendiami Kelurahan Buttadidia denngan rumah terbuat dari anyaman bambu dan atap berasal dari rumbai-rumbai. (Foto : M. Nur Abdurrahman)



Lebih Dekat dengan Jamaah An Nadzir-Sulsel Selasa, 09 Okt 2007 : Tinggal di Tepi Danau, Pilih Rambut Pirang dan Jubah Hitam Sudah delapan tahun jamaah An Nadzir membangun permukiman di tempat terpencil, tepi Danau Mawang, Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan. Mereka memilih menetap jauh dari keramaian dengan harapan bisa lebih khusyuk beribadah.

MESKI hanya 20 kilometer dari Kota Makassar, jalan menuju ke Danau Mawang, tempat permukiman itu, masih jelek. Lokasinya yang terpencil mengakibatan harian Fajar (Jawa Pos Group) harus bertanya beberapa kali. Akibatnya, setelah sekitar sejam mencari baru sampai ke tujuan.

Nama An Nadzir berarti pemberi peringatan. Sekilas perilaku mereka memang unik, termasuk gaya berbusana. Tapi, jamaahnya menolak dikatakan ikut aliran atau komunitas eksklusif. Seperti umat muslim yang lain, mereka mengaku sangat konsisten dalam menjalankan Alquran dan Al Hadis.

Jamaah An Nadzir untuk wilayah Sulsel tersebar di Makassar, Kabupaten Maros, Kota Palopo, dan Kabupaten Gowa. Selain itu, juga terdapat di Medan (Sumut), Jakarta, dan sebagian kecil di luar negeri. Khusus Gowa, jamaahnya ada 100 kepala keluarga (KK) dengan rata-rata setiap rumah dihuni lima orang. Sehingga keseluruhan jemaah An Nadzir di daerah ini sekitar 500 orang.

Seperti kebanyakan umat Islam, jamaah An Nadzir mengisi Ramadan dengan berbagai kegiatan, kecuali salat tarawih berjamaah. Alasannya, hal ini sesuai dengan tuntunan Rasul. "Salat tarawih ditiadakan untuk menghindari jadi wajib," jelas Ustad Rangka, pimpinan An Nadzir Gowa, saat ditemui di kediamannya yang sederhana di tepi Danau Mawang.
Menurut Ustad Rangka, pada zamannya Nabi Muhammad memang pernah melaksanakan salat tarawih pada malam 23, 25, dan 27. Namun, setelah itu tidak dilaksanakan lagi. "Ketika para sahabat Nabi bertanya, Rasulullah menjawab itu dilakukan karena takut nanti salat tarawih menjadi kewajiban," katanya.

Menurut Ustad Rangka, para jamaah berbuka puasa dengan patokan alam. Yakni, ketika tergelincirnya matahari. "Saya tidak mengacu pada jam berapa atau pukul berapa. Meski begitu, kami juga tak menafikan jam karena sangat membantu," paparnya.

Untuk pelaksanaan salat Isya, lanjut Ustad Rangka, juga mengikuti kebiasaan Nabi, yakni di dua pertiga malam. " Sekitar pukul 03.00 Wita, karena memang tidak memberatkan bagi kami. Selanjutnya melaksanakan sahur sesuai petunjuk yang ada. Intinya memperlambat sahur mempercepat buka puasa sesuai perintah Rasullullah," katanya. Pada malam hari Ramadan ini juga ada jamaahnya yang tafakur di alam terbuka.

Meski menetap di lokasi terpencil, jamaah An Nadzir tetap berinteraksi dengan masyarakat sekitar Kelurahan Mawang, Kecamatan Somba Opu. Untuk mencari nafkah, jamaah An Nadzir berkebun dan bertani. Mereka menggarap lahan seluas dua hektare yang ditanami cabai kecil dan adi.

Ustad Rangka mengakui, dia dan jamaah An Nadzir mengenakan jubah hitam, sorban, dan rambut yang dibuat pirang ini untuk menjalankan sunah Rasul. "Kami di sini tak mengembangkan ajaran sesat," katanya.

Menurut Ustad Rangka, An Nadzir bukanlah komunitas atau aliran serta bukan pula Syiah atau Sunni. "Kami adalah Ahlul Bait. Ahlul Bait di sini berarti menjalankan Alquran dan hadis secara konsisten," katanya.

Salah seorang jamaah An Nadzir, Iwan, mengaku memutuskan berhenti bekerja di sebuah perusahaan swasta di Palopo. Pada 2006 dia memilih hijrah ke Gowa bersama keluarga demi proyek keyakinan itu. "Saya memilih masuk An Nadzir semata untuk menegakkan kebenaran itu," ujarnya.

Untuk salat Idul Fitri tahun ini, An Nadzir memutuskan melaksanakannya pada Kamis, 11 Oktober. Penetapan itu berdasarkan acuan pelaksanaan salat Id pada 2006 lalu. "Tahun lalu kami salat Id hari Jumat. Nah, tahun ini kami akan laksanakan hari Kamis. Perhitungannya sederhana saja, dilakukan mundur sehari," katanya. (*)

http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=307413

Melihat Cara Jemaah An Nadzir Beribadah di Bulan Ramadhan Tiadakan Tarawih, Berbuka Setelah Salat Magrib

Laporan: Ramah Praeska
28/9 DI KABUPATEN Gowa, terdapat sebuah majelis yang bernama An Nadzir. Kelompok yang punya ciri khas rambut pirang ini, bahkan sudah ada di daerah bersejarah itu sejak 1998 silam. Menariknya, mereka fokus melaksanakan ibadah di sebuah tempat terpencil, tepatnya di tepi Danau Mawang, Kecamatan Somba Opu.JEMAAH An Nadzir, memilih menetap jauh dari permukiman padat penduduk. Alasannya sederhana; supaya lebih khusyuk melaksanakan ibadah setiap harinya.

Untuk menjangkau permukiman jemaah ini, memang perlu banyak bertanya kepada sejumlah penduduk. Itu tadi, lokasinya yang cukup terpencil dengan jarak tempuh sekitar 20 kilometer dari Makassar.

Apalagi, kondisi jalanan tidak representatif. Fajar yang mengunjungi permukiman An Nadzir, Rabu, 26 September malam lalu, setidaknya membutuhkan waktu kurang lebih satu jam lebih. Tentu saja, dengan bantuan warga di sekitar lokasi tersebut.

Lalu, bagaimana kegiatan kelompok ini? Sekadar tahu, An Nadzir berarti pemberi peringatan. Dengan dasar itu, jemaahnya pun secara tegas menolak jika dituding sebagai aliran tertentu dan atau ikut pada sebuah aliran. Mereka mengaku, masuk di sebuah majelis (perjalanan, Red).

Jemaah An Nadzir, bahkan mengaku sangat konsisten dalam menjalankan Alquran dan hadis. Jemaah ini tersebar di Makassar, Maros, Palopo, dan Kabupaten Gowa.

Khusus di Gowa, jemaahnya sebanyak 100 kepala keluarga (KK) dengan rata-rata setiap rumah dihuni lima orang. Sehingga, keseluruhan jemaah An Nadzir di daerah ini sekitar 500 orang.

Pada Ramadhan tahun ini, jemaah An Nadzir mengaku melaksanakan ibadah berdasarkan sunah Rasul. Karena itu, mereka tidak melaksanakan salat tarawih seperti kebanyakan umat muslim lainnya.

Shalat tarawih ditiadakan dengan argumen menghindari jemaahnya menjadikannya sebagai sesuatu kewajiban.

“Seperti umumnya umat muslim, kami juga memiliki banyak kegiatan keagamaan di bulan Ramadhan ini. Hanya saja, salat tarawih ditiadakan karena menghindari jadi wajib,” tandas pimpinan An Nadzir Gowa, Ustaz Rangka, saat ditemui di kediamannya yang sederhana di tepi Danau Mawang.

Alasan Rangka tak melaksanakan salat tarawih bersama jemaahnya, lantaran mengikuti Nabi Muhammad Saw. Pada zamannya, kata dia, Rasulullah memang pernah melaksanakan salat tarawih pada malam 23, 25, dan 27.

Setelah itu, Rasulullah berhenti selama-lamanya. “Nah, ketika itu para sahabat nabi bertanya, kenapa berhenti. Lalu, Rasulullah menjawab, itu dilakukan semata karena takut nanti salat tarawih kemudian dijadikan kewajiban.

Kenyataan yang terjadi sekarang ini, seakan-akan tarawih di bulan Ramadan itu menjadi sesuatu yang wajib dilaksanakan. Makanya, kami putuskan tak melaksanakan tarawih sejak hari pertama Ramadan sampai sekarang ini,” jelas Rangka.

Rangka menambahkan, mereka cukup berpuasa saja dan melakukan buka puasa sesuai waktu yang diyakini pada malam hari. Untuk menguatkan pendapatnya itu, Rangka merujuk pada surah Al Baqarah ayat 187.

“Makanya, kami rata-rata salat magrib dulu baru berbuka puasa, yang waktunya pada waktu malam ketika tergelincirnya matahari.

Saya tidak mengacu pada jam berapa atau pukul berapa. Meski begitu, kami juga tak menafikan yang namanya jam itu karena sangat membantu,” paparnya.

Adapun pelaksanaan salat isya, lanjut Rangka, juga mengikuti kebiasaan nabi di mana suatu ketika melakukan salat isya di dua pertiga malam. Ketika itu, dikisahkan Rangka, Aisyah meraba kaki Rasulullah lalu bertanya, “Ya Rasulullah, Engkau melaksanakan salat apa?”

Rasulullah lalu menjawab, ”Sekiranya tidak memberatkan umatku maka inilah waktu (dua pertiga malam, Red) yang paling tepat melaksanakan salat isya.”

“Itu pula yang kami lakukan di sini. Rata-rata melaksanakan salat isya pada pukul 03.00 Wita, karena memang tidaklah memberatkan bagi kami. Selanjutnya melaksanakan sahur sesuai petunjuk yang ada.

Intinya, memperlambat sahur mempercepat buka puasa sesuai perintah Rasulullah. Kami makan dan minum sesuai petunjuk Alquran,” kilah Rangka sembari menyebutkan, di malam hari pada bulan Ramadhan ini ada juga jemaah yang tafakur di alam terbuka.

Soal pelaksanaan salat isya itu, Rangka lalu menyebutkan tercantum pada Surah Huud ayat 114 yang berbunyi ”Dirikanlah salat pada kedua tepi siang (pagi dan petang), dan pada bagian permulaan malam”. Serta Surah Al Israa ayat 78, “Dirikanlah salat sesudah matahari tergelincir (lohor dan asar) sampai gelap malam (magrib dan isya), serta salat subuh. Sesungguhnya salat subuh itu disaksikan malaikat”.

Dominan Berkebun Aktivitas sehari-hari jemaah An Nadzir adalah berkebun dan menambak ikan. “Di waktu pagi hingga sore hari, kami memang lebih banyak berkebun dan memelihara ikan mas yang ada di tambak atau kolam dekat permukiman,” kata Rangka, yang mengaku sudah 22 tahun menetap di tepi Danau Mawang.

Jemaah An Nadzir sendiri cukup terbuka bagi siapa saja yang ingin mengetahui lebih jauh tentang majelis itu. Tapi, jangan coba-coba untuk menyinggung perasaan jemaahnya.

“Kalau itu dilakukan, maka pasti akan dilempar ke tambak atau kolam ikan yang ada di permukiman jemaah An Nadzir. Sudah banyak yang merasakannya karena mencibir keberadaan An Nadzir,” ungkap Arifin Idris Dg Ngiri, warga di sekitar permukiman An Nadzir. (*/bersambung)

http://www.fajar.co.id/picer.php?newsid=224

Paling Cepat Gelar Salat Idulfitri

Laporan Ramah Praeska
MESKI memilih tinggal di lokasi terpencil, jemaah An Nadzir tetap melakukan interaksi dengan masyarakat luar. Sehari-harinya, jemaah An Nadzir juga melaksanakan aktivitasnya seperti warga pada umumnya. Mereka hidup dengan cara berkebun dan bertani.

PADA bulan Ramadan ini, jemaah An Nadzir melakukan aktivitasnya di siang hari hingga sore. Mereka menggarap sebuah lahan seluas dua hektare yang disiapkan untuk ditanami cabai kecil mulai awal November mendatang.
Selain itu, mereka juga bercocok tanam padi.

Bahkan, baru-baru ini, jemaah An Nadzir memanen padi yang digarapnya. Satu hektare sawah yang digarap mampu menghasilkan berkarung-karung gabah. “Untuk perkebunan, kami punya lahan sendiri. Sedangkan areal persawahan yang digarap, secara keseluruhan luasnya hampir tujuh hektare. Saat ini, kami memanennya,” jelas Pimpinan An Nadzir Gowa, Ustaz Rangka, saat ditemui Rabu malam lalu, di kediamannya.

Sekadar informasi, Rangka disebut-sebut yang memiliki lahan pertanian itu. Namun, lahannya tersebut diolah bersama-sama dengan para jemaahnya. Nah, hasilnya itu kemudian dibagi bersama jemaahnya untuk kelangsungan hidup mereka.

Rangka mengaku, dia bersama jemaahnya, hanya semata-mata menjalankan sunah Rasul. Mereka juga memilih hidup secara sederhana. “Kami di sini tidak mengembangkan ajaran sesat. Kami justru menegakkan kebenaran yang dibawa Syech Muhammad Al Mahdi Abdullah. Nah, yang mengajari saya dan para jemaah An Nadzir masuk ke lokasi ini (tepi Danau Mawang, red) adalah Al Mahdi Abdullah, imam akhir zaman yang kita tunggu-tunggu selama ini,” ungkapnya.

Rangka menambahkan, ia sebenarnya pernah bergabung dengan Muhammadiyah sebelum memutuskan masuk majelis An Nadzir. “Kebenaran itu akan muncul. Nah, Imam Mahdi sendiri juga akan muncul di belahan timur,” katanya.

Menyinggung tentang belahan timur, kata dia, Kabupaten Gowa berada persis di belahan timur.

Atas dasar itu, Rangka mengaku memilih sebuah lokasi terpencil di Gowa untuk memulai perjalanan menegakkan kebenaran itu.

Secara tegas, Rangka berkali-kali mengatakan bahwa ia dan jemaahnya tak mengembangkan ajaran sesat. Mereka, kata Rangka, hanya menjalankan ajaran yang dibawa Syech Muhammad Al Mahdi Abdullah, yang dijadikan imamnya.
“Untuk apa saya meninggalkan keramaian di luar sana dan masuk ke tempat terpencil kalau hanya mengembangkan ajaran sesat. Sekalipun beberapa rekan saya di Muhammadiyah menghujat dan mencibir saya, tapi saya hanya tersenyum,” akunya.

Perlu diluruskan, lanjutnya, An Nadzir bukanlah komunitas atau aliran, bukan pula Syiah atau Sunni. “Kami adalah Ahlul Bait. Ahlul Bait di sini berarti menjalankan Alquran dan hadis secara konsisten. Sudah jelas, An Nadzir itu sebuah majelis (perjalanan),” paparnya.

Salah seorang jemaah An Nadzir, Iwan, mengaku memutuskan berhenti bekerja di sebuah perusahaan swasta di Kota Palopo dan memilih hijrah ke Gowa bersama keluarganya demi “keyakinan” itu. Dia mengaku hijrah dari Palopo sejak 2006 lalu.

“Saya memilih masuk An Nadzir semata untuk menegakkan kebenaran itu,” ujarnya.

Salat Idulfitri
Untuk salat Idulfitri tahun ini, An Nadzir memutuskan melaksanakannya pada Kamis, 11 Oktober mendatang. Itu berarti, tahun ini, jemaah An Nadzir yang paling cepat menggelar salat Id. Pasalnya, Muhammadiyah baru menggelar Idulfitri keesokan harinya, Jumat, 12 Oktober.

Lalu, apa dasarnya sehingga menggelar Idulfitri paling awal? Rangka berkilah, ia berdasarkan pada pelaksanaan salat Id 2006 lalu. “Tahun lalu kami salat Id hari Jumat. Nah, tahun ini kami akan laksanakan hari Kamis. Perhitungannya sederhana saja, dilakukan mundur sehari. Jadi, misalnya tahun sebelumnya kita lebaran Minggu, maka di tahun berikutnya harusnya Sabtu, lalu Jumat, dan begitu seterusnya,” jelas Rangka.

Dia menuturkan, salat Id yang digelar An Nadzir di Kabupaten Gowa setiap tahunnya, dihadiri seribuan jemaah. Selain dari Sulsel, ada pula dari Jakarta, Medan, dan daerah lainnya di Indonesia.

“Cukup banyak jemaah yang melaksanakan salat Id di sebuah lapangan yang tak jauh dari permukiman An Nadzir,” kata Arifin Idris Dg Ngiri, warga di sekitar permukiman An Nadzir, yang dibenarkan rekannya, Ramli Rewa. (tamat)
http://www.fajar.co.id/picer.php?newsid=225

0 komentar: